judul blog

Gudang Data Notes dan SS Facebookers Syiah Berikut Beberapa Tulisan Penting Seputar Syiah

Senin, 24 Januari 2011

sayidah fathimah memaafkan abubakar

Diriwayatkan dari Fathimah Ra. sesungguhnya ia setelah peristiwa itu rela terhadap Abu Bakar. Berdasarkan riwayat Baihaqi dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fathimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: "Wahai Fathimah ini Abu Bakar minta izin." Fathimah berkata: "Apakah kau setuju aku mengijinkan ?", Ali berkata: "Ya." Maka Fathimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fathimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: "Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi." (Assunan Al Kubra Lilbaihaqi 6/301)



Ibnu Katsir berkata: Ini suatu isnad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali ATAU seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al Bidayah Wannihaayah 5/252)



Dengan demikian terbantah sudah cacian Rafidhah terhadap Abu Bakar yang dikaitkan dengan marahnya Fathimah terhadapnya dan bila memang Fathimah marah pada awalnya namun kemudian sadar dan meninggal dalam keadaan memaafkan Abu Bakar.



Hal ini tidak berlawanan dengan apa yang tersebut dalam hadist Aisyah yang lalu. "Sesungguhnya ia marah pada Abu Bakar lalu didiamkan sampai akhir hayatnya" hal ini sebatas pengetahuan Aisyah ra saja.



Sedang hadist riwayat Asy-Sya’bi menambah pengertian kita. Abu Bakar menjenguk Fathimah dan berbicara dengan Abu Bakar serta memaafkan Abu Bakar: Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asy-Sya’bi menetapkan.



Para ulama memahami bahwa ucapan yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menafikan, karena kemungkinan suatu ketetapan sudah bisa didapatkan tanpa memahami penafian terutama dalam masalah ini, yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fathimah bukan suatu peristiwa yang besar dan didengar di masyarakat.



------





Penulis licik telah berusaha untuk menipu para pembaca. Rantai perawi dalam riwayat mungkin asli, tapi Wahabi Nashibi gagal untuk meyakinkan orang, seperti akan diketahui bahwa riwayat ini Mursal. Perawi, Asy-Sya’bi yang memberikan kesaksian tentang insiden yang tidak dilihat dengan matanya sendiri.



Bahkan dikatakan Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi adalah seorang tabiin dan beliau lahir 6 tahun setelah masa khalifah Umar ra (Shuwaru Min Hayati at-Tabiin, Dr Abdurrahman Ra’fat Basya, terjemah : Jejak Para Tabiin penerjemah Abu Umar Abdillah hal 153).





Jadi jelas bahwa Asy-Sya’bi tidak melihat apa yang ia katakan tersebut (analisis matan di bawah).







Kami akan mengingatkan mereka, bahwa menurut Wahabi Salafi sendiri, riwayat yang Mursal tidak diterima sebagaimana Albani dalam bukunya 'Difa al-Hadits al-Nabawi' (h.82) mencatat :



المرسل من أقسام الضعيف على قواعد علماء الحديث

“Mursal adalah bagian dari dhaif menurut ulama hadis”



Ibn Uthaimin, ulama wahabi lainnya, mencatat dalam kitabnya Majmu’a Fatawa ibn Uthaimin (6 /164):



والمرسل من أقسام الضعيف، فلا تقوم به الحجة



“Mursal adalah bagian dari Dhaif, oleh sebab itu bukan Hujjah”





Apa dasar dari nashibi mengatakan :



“Sedang hadist riwayat Sya’bi menambah pengertian kita. Abu Bakar menjenguk Fathimah dan berbicara dengan Abu Bakar serta memaafkan Abu Bakar: Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asya’bi menetapkan.”



Justru riwayat Aisyah (dibawah) lebih kuat dari pada Asy-Sya’bi, karena Aisyah hidup dimasa Rasulullah saww dan juga masa Abu Bakar dan menyaksikan hal tersebut, sedangkan Asy-Sya’bi baru lahir jauh setelah insiden tersebut.



“...Lalu Fatimah binti Rasulullah SAW marah kemudian ia senantiasa mendiamkan Abu Bakar [Ia tidak mau berbicara dengannya]. Pendiaman itu berlangsung hingga ia wafat dan ia hidup selama 6 bulan sesudah Rasulullah SAW...” (Mukhtasar Shahih Bukhari Kitab Fardh Al-Khumus Bab Khumus oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani j.2 hal 345-346, No. Hadis 1345.)





Analisis Matan Riwayat



Perhatikan Riwayat Baihaqi :



“Dari Amir Asy-Sya’bi, dia berkata, ketika Fatimah sakit Abu Bakr datang menemuinya dan meminta diberi izin masuk. Ali berkata padanya, “Wahai Fatimah, Abu Bakr datang dan meminta izin agar diizinkan masuk.” Fatimah bertanya, “Apakah engkau ingin agarku memberikan izin baginya?” Ali berkata, “Ya!” Maka Abu Bakr masuk dan berusaha meminta maaf kepadanya sambil berkata, “Demi Allah tidaklah aku tinggalkan seluruh rumahku, hartaku, keluarga dan kerabatku kecuali hanya mencari redha Allah, redha RasulNya dan Ridha kalian wahai Ahlul Bayt.” Dan Abu Bakr terus memujuk sehingga akhirnya Fatimah rela dan akhirnya memaafkannya. (Dala’il An Nubuwwah, Jil. 7 Hal. 281).





Matan riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidah Fatimah (as) berbicara kepada Abu Bakar, padahal berdasarkan riwayat Aisyah Shahih Bukhari dinyatakan Sayyidah Fatimah marah dan mendiamkan Abu Bakar sampai Fathimah (as) meninggal. Lihat kembali hadis Shahih Bukhari (yang juga disebutkan dalam Mukhtashar Shahih Bukhari oleh Nashirudin Al Bani, scan di akhir artikel ini) :



“...Lalu Fatimah binti Rasulullah Saw marah kemudian ia senantiasa mendiamkan Abu Bakar [Ia tidak mau berbicara dengannya]. Pendiaman itu berlangsung hingga ia wafat dan ia hidup selama 6 bulan sesudah Rasulullah Saw.”





“Ketika Fatimah meninggal dunia, suaminya Ali ra yang menguburkannya pada malam hari dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar. Kemudian Ia menshalatinya.”



Dalam hal ini kesaksian Aisyah bahwa Sayyidah Fathimah (as) marah dan mendiamkan Abu Bakar hingga beliau wafat lebih layak untuk dijadikan hujjah karena Aisyah melihat sendiri mngetahui sikap Sayyidah Fatimah (as) tersebut sampai akhir hayat Sayyidah Fatimah (as). Seandainya apa yang dikatakan Asy-Sya’bi itu benar maka sudah tentu Aisyah akan menceritakannya.









Analisis Sanad Riwayat





Sebelumnya Mari kita bahas terlebih dulu apa syarat hadis atau riwayat yang shahih





Ibnu Shalah merumuskan bahwa hadis shahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang berwatak adil dan dhabith dari orang yang berwatak seperti itu juga sampai ke puncak sanadnya, hadis itu tidak syadz dan tidak mengandung illat.(Hadis Nabi Sejarah Dan Metodologinya h.88 Dr Muh Zuhri, cetakan I Tiara Wacana :Yogyakarta, 1997). Atau bisa juga dilihat dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis.



Mari kita lihat Riwayat Baihaqi, baik dalam Sunan Baihaqi atau Dalail An-Nubuwwah Baihaqi meriwayatkan dengan sanad sampai ke Asy-Sya’bi yang berkata (riwayat hadis tersebut). Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari berkata bahwa sanad riwayat ini shahih sampai ke Asy-Sya’bi.



Walaupun sanad riwayat ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar sampai ke Asy-Sya’bi tetapi riwayat ini adalah riwayat mursal artinya terputus sanadnya.





Asy-Sya’bi meriwayatkan seolah beliau sendiri menyaksikan peristiwa itu, lihat riwayat tersebut



Diriwayatkan oleh Al Hafidz Al Baihaqi DARI Amir Asy-Sya’bi, dia (Asy-Sya’bi) berkata, ketika Fathimah sakit Abu Bakr datang menemuinya dan meminta diberi izin masuk. dst.."





Padahal pada saat Sayyidah Fatimah (as) dan Abu Bakar masih hidup Asy-Sya’bi jelas belum lahir.



Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi adalah seorang tabiin dan beliau lahir 6 tahun setelah masa khalifah Umar ra (Shuwaru Min Hayati At Tabiin, Dr Abdurrahman Ra’fat Basya, terjemah : Jejak Para Tabiin penerjemah Abu Umar Abdillah hal 153).





Hal ini menimbulkan dua kemungkinan

1. Asy-Sya’bi mendengar riwayat tersebut dari orang lain tetapi beliau tidak menyebutkan siapa orang tersebut, atau.
2. Asy-Sya’bi membuat-buat riwayat tersebut.



Dimanapun kemungkinan tersebut tidak merubah mursalnya riwayat tersebut. Hal ini jelas menunjukkan mursalnya sanad riwayat ini. Riwayat mursal sudah jelas tidak bisa dijadikan hujjah.





Dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A. Qadir Hassan (h.109 Cet. III CV Diponegoro Bandung 1987) Beliau mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah :





Ibnu Hajar berkata ”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin. Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat,tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain. Demikianlah selanjutnya memungkinkan sampai 6 atau 7 tabiin, karena terdapat dalam satu sanad ,ada 6 tabiin yang seorang meriwayatkan dari yang lain”. Pendeknya gelaplah siapa yang digugurkan itu, sahabatkah atau tabiin?. Oleh karena itu sepatutnya hadis mursal dianggap lemah.





Apa pendapat Ulama Sunni Tentang Riwayat Mursal Asy-Sya’bi





Jika Wahabi Nashibi datang dengan membuat skenario dimana ulama Ahlu Sunah menerima riwayat Mursal, namun hal ini tidak diterima ketika riwayat Mursal yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi, karena mereka (ulama sunni) menolak riwayat Mursal yang secara jelas diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi.





Qastalani mencatat dalam syarah populernya yaitu Irsyad Al-Sari, (6/475) :

ومراسيل الشعبي ليست بحجة مطلقا لا سيما ما عارضه الصحيح





“(riwayat) Mursal dari Asy-Sya’bi bukanlah hujjah, terutama ketika hal tersebut bertentangan dengan (yang) shahih”





Oleh karena itu, riwayat Mursal harus ditolak secara otomatis karena menurut riwayat Shahih dari Kitab Shahih Bukhari, Fathimah Zahra (as) tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau (as) wafat.





Allamah Ibn Abdul Barr mengacu pendapat Ulama mengenai riwayat Mursal yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi dalam Al-Tamhid ( 22/320) :





ومراسيل الشعبي ليست عندهم بشئ

“Mursal dari Asy-Sya’bi menurut mereka (para ulama) tidak ada artinya”





Dan atas dasar apa wahabi nashibi mengatakan :



“Para ulama memahami bahwa ucapan yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menafikan...dst”





Tidak usah berandai-andai atau membuat kemungkinan-kemungkinan karena menurut ulama (diatas) jelas bahwa riwayat Mursal Asy-Sya’bi ditolak.





Lebih jauh, Asy-Syaukani mengatakan dalam Irsyad Al-Fuhul (2/268) :

“Riwayat Musnad didahulukan dari riwayat Mursal”





Allamah Salahuddin Khalil Al-Alai, mencatat dalam Jami' al-Usul (1/43):

“Malikiyah dan Hanafiyah seperti Abu Ja’far At-Tahawi dan Abu Bakar Ar-Razi mengatakan untuk mendahulukan Musnad daripada Mursal ketika (riwayat tsb) saling bertentangan”

2 komentar:

  1. Fatwa MUI thn 1984 Tentang Aliran Sesat Syiah

    Bismillahirrahmaanirrahiim

    Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi’ ah sebagai berikut:

    Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.

    Perbedaan itu di antaranya :

    1. Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait,sedangkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
    2. Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
    3. Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
    4. Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama,sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan umat.
    5. Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib)

    Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah

    Ditetapkan : Jakarta, 7 Maret 1984 M

    4 Jumadil Akhir 1404 H

    KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

    Ketua

    ttd

    Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML

    Sekretaris

    ttd

    H. Musytari Yusuf, LA

    BalasHapus
  2. mana kata2 sesat dari fatwa MUI diatas...???hihihi...

    BalasHapus

Allah